Oleh : M. Ichsan Amir Mujahid
Rahmat kasih sayang adalah pancaran dari rohman dan rohim-nya ALLAH SWT. Rosulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ALLAH SWT menciptakan 100 kasih sayang ketika menciptakan langit dan bumi. Satu rahmat (kasih sayang) dari-NYA seluas langit dan bumi. Lalu ALLAH turunkan salah satu rahmat itu ke bumi. Dengan itulah makhluk saling menyayangi. Dengan itu Ibu mengasihi anaknya. Dengan itu burung dan binatang buas meneguk air dari (dari tempat yang sama). Dan dengan itu seluruh makhluk hidup.” (Kauzul-Ummal, Hadits No. 10464)
Pernahkah kita melihat induk ayam yang pengecut berubah menjadi pemberani? hanya karena di bawah sayapnya ia melindungi anak-anaknya yang masih kecil. Pernahkah anda menyaksikan harimau buas menjilati tengkuk anaknya dengan lembut? Pernahkah anda mendengar kisah monyet betina yang menjerit pilu, ketika anaknya dirampas pemburu? Itu semua seperseratus rahmat ALLAH SWT yang dititipkan pada fitrah mereka.
Begitu juga kita selaku manusia, sebagai seorang suami kita sering bekerja keras, menguras keringat dan tenaga. Kita kumpulkan rupiah demi rupiah. Lalu setelah memadai, dengan setia kita memberikannya kepada anak istri tercinta. Atau kita menyaksikan istri kita yang bermata cekung, rela menunggui buah hati kita yang sedang sakit, bahkan ia pun siap menyerahkan apapun yang ia miliki, asalkan ia bisa melihat anak kita dapat senyum kembali. Atau orangtua kita, yang menghabiskan seluruh usianya, mengurangi makan dan minumnya, agar mereka sanggup menyekolahkan kita. Kemudian, ketika kita berhasil meraih gelar sarjana dan diwisuda di almamater tercinta. Ayah dan Ibu kita pun menangis terisak-isak di kursi belakang, karena bangga atas keberhasilan anaknya yang telah memperoleh gelar kesarjanaan. Itu semua adalah seperseratus rahmat kasih sayang. Dan dengan itu pulalah, membuat kita selaku manusia merasa senang yang bukan kepalang.
Tetapi, berbeda dengan binatang, kita selaku manusia tidak selalu berhasil memelihara fitrah kasih sayang. Seperseratus rahmat ALLAH yang telah dititipkan kepada hati nurani ini sering kita terlantarkan, bahkan kita lupakan. Dalam perjalanan hidup, kita sering melupakan bisikan fitrah yang suci. Bukankah kita sering mendengar seorang ibu yang membunuh anaknya? Suami yang menganiya istrinya? Istri yang mengkhianati suaminya? orangtua yang menyiksa anaknya? Pejabat yang mengeksploitasi orang kecil? Majikan yang menyiksa Pembantunya? Dan orang kaya yang memeras si miskin? Kita termenung, kemana gerangan seperseratus rahmat kasih sayang yang telah Tuhan berikan? Mengapa fitrah itu terlupakan?
Untuk mendapatkan jawaban; dalam Surat at-Takatsur ALLAH berikan penjelasan, sekaligus pengobatan.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan Mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin (melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat -pen). Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu),” (Q.S. at-Takatsur)
Apa arti at-Takatsur? at-Takatsur artinya keinginan meperbanyak kesenangan dan perhisan dunia serta mengalahkan orang lain dengan harta dan anak buah. Mengapa seperseratus Rahmat Fitrah Kasih Sayang lenyap pada diri kita sebagai insan? Hal ini dikarenakan Takatsur, yaitu kerakusan untuk mencari kekayaan, jabatan, dan pengaruh buat mengalahkan orang lain.
Bahkan dari Takatsur inilah, lahir tiga penyakit rohani, yang membinasakan bisikan fitrah kasih sayang yang suci. Apa penyakitnya?
Takabur
Karena Takatsur-lah kita menjadi Takabur. Karena kita merasa kekayaan kita lebih banyak, pangkat dan kedudukan kita lebih tinggi, kita cenderung merendahkan orang lain. Rasa sayang kepada saudara kita yang nasibnya lebih malang, telah berubah menjadi kebencian. Kita melemparkan sumpah serapah kita kepada orang lain, yang kekayaan dan kedudukannnya, tidak sebanding dengan kita. Kita tidak mengundang orang yang tidak berpunya ketika kita berpesta. Kita usir para peminta karena kita menganggap mereka merusak citra kota. Kita lupa bahwa ALLAH telah mengamanahkan harta dan kedudukan kepada kita buat menyayangi dan memperhatikan saudara-saudara kita yang menderita.
Dengan kekayaan dan jabatan yang kita miliki, ALLAH SWT telah memberikan kehormatan kepada kita untuk mempertajam rahmat fitriah kita. Sayang Takatsur telah mengubah kehormatan menjadi kehinaan.
Dengki
Takatsur juga menyuburkan rasa dengki. Ketika kita melihat orang lain lebih berkecukupan, lebih berpengaruh, lebih popular, lebih dihormati, lebih pintar dari kita, kita marah. Dengan segala cara kita menjatuhkan saudara kita, kita sebarkan aibnya. Terkadang kita tidak segan-segan menggunjing, memfitnah, dan membuat berita dusta. Lalu ketika saudara kita jatuh, kita tersenyum bangga. Kita merasa bahagia bila melihat saudara kita celaka. Kasih Sayang yang fitriyah telah terkubur karena Takatsur, dan telah mati karena bersemanyamnya rasa dengki.
Dendam
Bahaya Takatsur yang paling besar ialah Dendam. Kita membenci orang yang statusnya lebih baik dari kita, dan berusaha melampiaskan kekurangan kita dengan mencelakakan orang lain. Kita telah berubah dari makhluk ALLAH yang dititipi seperseratus rahmat kasih sayang, menjadi hamba syaitan dengan jutaan tipuan. Seperti Iblis yang tertawa gembira melihat manusia yang diperdaya celaka, seperti itu juga kita sebagai seorang pendendam. Bila kita sebagai umat sudah dipenuhi sifat dendam, kemudian diiringi dengan penyakit dengki, maka rusaklah persatuan umat dan hancurlah agama yang kita cintai.
Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah, telah merayap kepada kalian penyakit yang menjangkiti umat sebelum kalian, yaitu dengki. Dengki itu menggunduli, bukan menggunduli rambut, melainkan menggunduli agama.”
Lalu bagaimana cara mengobatinya? Untuk pengobatannya kita kembalikan kepada Surat at-Takatsur.
Surat at-Takatsur menjelaskan tiga pengobatan untuk menghilangkan Takatsur dan sekaligus membasmi akar Takabur, Dengki, dan Dendam. Apa obatnya?
Mengingat Maut
“Telah melupakan kamu Takatsur sehingga kamu berkunjung ke kuburan.”
Jadi obat yang pertama untuk menghilangkan kerakusan adalah kesadaran akan kematian. Kesadaran bahwa semua yang kita kumpulkan itu akan kita tinggalkan. Kesadaran bahwa semua yang kita miliki, akan kita akhiri. Karena itu, marilah kita budayakan berkunjung ke kuburan. Merenunglah di sana, di atas pusara ayah-bunda atau orang-orang yang kita cinta. Kenanglah bahwa kita juga akan berbaring di bawah tanah seperti mereka, dibungkus kain kafan. Tergolek seperti seonggok tubuh yang tidak berguna dan terabaikan.
Ilmu
Dengan Ilmu kita menyadari bahwa Takatsur berakibat jelek. Bukan saja pada orang lain, tetapi juga pada diri sendiri. Takatsur mencabut kasih sayang, dan mengambil ketenteraman dari kehidupan, serta menyibukkan kita untuk mengumpulkan bara neraka Jahannam, “Sungguh kalian akan mengetahuinya. Kemudian sesungguhnya kalian akan mengetahuinya. Sesungguhnya, seandainya kalian mengetahuinya dengan ilmu yakin, kalian sungguh akan melihat neraka Jahiim, kemudian kalian melihatnya dengan mata yakin.”
Ilmulah yang membuka tabir kesadaran, bahwa betapa tidak bermakna kemegahan hidup di dunia. Ilmu seperti ini tidak diperoleh di Perguruan Tinggi, atau di bangku sekolah. Ilmu semacam ini, hanya tumbuh dari kearifan menghayati kehidupan, dengan bimbingan syariat Tuhan.
Rasa Tanggung Jawab
“Kemudian kalian akan ditanya pada hari itu dari segala kenikmatan di dunia.”
Kita bakal dimintai pertanggungjawaban atas kekayaan, kekuasaan, kesehatan, kemasyhuran, dan segala kesenangan yang kita banggakan.
Dengan keras al-Quran mengingatkan, “Apakah manusia mengira bahwa dirinya akan dibiarkan tanpa dimintai pertanggungjawaban?” (QS. al-Mursalaat: 36)
Dan Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan bergeser telapak kaki manusia di hari Kiamat nanti sehingga mereka akan ditanya empat hal: Dari usianya, untuk apa dihabiskannya. Dari tubuhnya untuk apa ia mempergunakannya. Dari hartanya, dari mana ia memperolehnya dan kemana ia membelanjakannya. Dan keempat, dari kecintaannya kepada kami, keluarga Nabi.” (HR. Thabrani)
Marilah kita berupaya menterjemahkan sifat-sifat ke-Rahmatan dalam kehidupan, agar kehadiran kita selaku umat Islam benar-benar dapat dijadikan suri tauladan. Amien.
Sekian dan terima kasih...
No comments:
Post a Comment