Oleh : M. Ichsan Amir Mujahid
Hubungan anak dengan orangtuanya bersifat kekal. Tidak ada yang namanya mantan anak, tidak ada pula mantan ayah atau mantan ibu. Anak adalah amanah dari ALLAH untuk orangtuanya. Amanah itu ialah para orangtua diberi kepercayaan untuk melahirkan, membesarkan, membimbing, dan mengantarkan anak untuk menjadi insan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah ALLAH SWT.
Saat anak dilahirkan, sungguh mendatangkan suasana bahagia yang tiada tara di dalam rumahtangga. Siapapun akan merasa gembira atas kehadiran seorang bayi di tengah-tengah keluarganya. Kelahiran anak menjadi bukti bahwa ayah dan ibu adalah manusia yang normal. Kelahiran anak yang menjadikan suasana bahagia merupakan permulaan tanggung jawab orangtua. Bayi lahir disambut dengan tugas awal di antaranya dengan memberikan nama yang baik dan menyembelih hewan sebagai aqiqah.
Rosulullah SAW bersabda, “anak (yang baru lahir -pen) itu tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan hewan aqiqah pada hari ke-tujuh, diberi nama dan dicukur rambutnya” (HR. Tirmidzi).
Tuntunan menyembelih aqiqah yang terkandung dalam hadits di atas, biasanya dilakukan oleh keluarga yang mampu, jarang dilakukan oleh keluarga miskin, karena hal tersebut dianggap sangat memberatkannya. Namun dengan melaksanakan “berat” dalam menyambut kehadiran “tamunya”, dimaksudkan agar dapat mempererat kedua belah pihak.
Dalam pertumbuhan anak, orangtua punya tanggung jawab untuk mewarnai bentuk kepribadiannya. Berbahagialah orangtua yang mampu mengantarkan anaknya ke dalam lingkungan yang baik. Sebaliknya, jika anak itu menjadi anak yang durhaka kepada ALLAH di kemudian hari, maka orangtua harus mempertanggung-jawabkan sesuai dengan kemampuan serta kesalahan mereka dalam mendidik si anak.
Sebuah hadits menyebutkan, “Setiap bayi lahir dalam keadaan suci. Maka kedua orangtuanyalah yang membentuknya menjadi yahudi, nasrani, majusi,’ (HR. Bukhori)
Selain dipahami sebagai tanggung jawab dari orangtua atas “warna” anak setelah dewasa kelak, hadits tersebut juga menandakan bahwa lingkungan mempunyai kontribusi yang sangat besar dan pembentukkan kepribadian anak.
Tanggungjawab Anak
Kepastian bahwa seorang anak harus berbakti kepada kedua orangtuanya, disebutkan secara gamblang dan jelas dalam al-Quran di antaranya pada surat al-Israa ayat 23, an-Nisaa ayat 36, dan al-An’aam ayat 151. dalam surat al-Israa berbunyi, “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain DIA, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya...”.
Andaikan hubungan antara orangtua dan anak tidak penting, niscaya ALLAH tidak akan mencantumkannya dalam al-Quran. Islam memerintahkan anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya. Menggugah kesadaran, bahwa tanpa jasa kedua orangtuanya maka nasibnya tidak akan diketahui juntrungannya. Banyak anak yang memiliki nasib tidak beruntung karena tidak memiliki orangtua atau karena orangtuanya tidak mengerti serta menjalankan ajaran ini. Sebaliknya, tidak sedikit orangtua yang terlantar di hari tuanya, karena tidak terurus atau dibiarkan oleh anak-anaknya. Naudubillaah min dzaalik.
Mengapa berbakti kepada orangtua itu sangat penting? Karena sudah banyak orang (anak) yang menganggap remeh masalah ini. Sekarang ini, banyak anak yang lebih patuh diajak teman sekolah atau teman mainnya ketimbang perintah dari kedua orangtuanya. Banyak anak yang tidak sabar untuk menaruh perhatian terhadap orangtuanya yang sedang sakit apalagi merawatnya.
Firman ALLAH SWT, “Jika salah seorang di antara kedua atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya dengan perkataan ‘ah’. Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan rasa sayang dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua mendidik (menyayangi) aku sewaktu kecil,” (Q.S. al-Israa: 23)
Merawat Kedua Orangtua
Begitu pentingnya merawat orangtua, sehingga ketika seseorang hendak berangkat perang, rosulullah SAW bertanya, “Apakah kamu masih punya ibu? Ia menjawab: Masih... Maka Rosulullah mengatakan, berbakti kepadanya (orangtua) tidak kalah nilainya dengan ikut berperang di jalan ALLAH.”
Said bin Abi Burdah berkata, “saya pernah mendengar ayahku bercerita, bahwa ketika ibnu Umar menyaksikan seorang pria Yaman sedang thawaf di Baitullah sembari menggendong ibunya. Ia mengatakan, “Sungguh aku menjadi untanya (ibuku) yang setia. Meski ia takut menaiki, aku tidak”. Kemudian ia melanjutkan, “Wahai ibnu Umar, sebagaimana engkau lihat (dirinya sedang berbakti kepada ibunya), apakah aku sudah dapat dikatakan mencukupi (berbakti dengan cara itu)?”. Ibnu Umar menjawab, “Belum dan masih belum cukup jika ditambah dengan satu beban lagi...”
Pesan moral yang dapat kita petik dari riwayat di atas, bahwa berbakti kepada orangtua tidaklah dapat dibatasi atau dikalkulasikan. Misalkan dengan menghitung berapa biaya melahirkan, biaya pemeliharaan, dan biaya membesarkan sejak kecil hingga bisa mandiri.
Islam menegaskan bahwa hubungan anak dengan orangtuanya adalah abadi. Tidak hanya sampai dengan si anak mulai mandiri saja. Oleh karena itu kesempatan berbakti kepada orangtua sampai mereka dipanggil oleh-NYA, dapat dimanfaatkan oleh si anak untuk berbuat amal baik terhadap keduanya serta senantiasa berusaha untuk membahagiakan mereka. Dan ingatlah selalu, “Sesungguhnya sebaik-baik di antara kalian di mata ALLAH adalah yang terbaik terhadap keluarganya,” (al-Hadits).
No comments:
Post a Comment