Oleh : M. Ichsan Amir Mujahid
Beberapa bulan belakang ini kita sering mendengar dan membaca, baik melalui media elektronik ataupun media cetak, tentang meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang lain atau kejahatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap keluarganya sendiri. Sungguh sangat memilukan.
Begitu pula sekarang kita sering mendengar seorang anak membunuh ayah atau ibunya, memperkosa adiknya, terlibat tawuran, terjerumus pada obat-obatan terlarang, dll. Yang lebih sadis lagi, ada orangtua yang rela menjual anaknya untuk dijadikan wanita tuna susila hanya karena alasan ekonomi, naudzubillaahi min dzaalik...
Tentu saja saya sebagai orangtua melihat kejadian seperti ini merasa sangat miris, ada rasa takut akan pergaulan anak-anak kita. Pada hakikatnya, tidak ada orangtua yang rela anaknya melakukan pelanggaran atau perbuatan yang melanggar hukum. Atau anaknya yang gagal untuk meraih cita-cita masa depannya.
Sebagaimana firman ALLAH, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...,” (QS. at-Tahrim: 6).
Pada ayat di atas, jelas sudah bahwa ALLAH SWT memerintahkan kepada manusia agar senantiasa menjaga diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya dari perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan hukum. Agar terhindar dari azab api neraka.
Dalam rangka mewaspadai dan upaya untuk membentengi terjadinya krisis di dalam keluarga, para ahli telah mengemukakannya baik melalui media massa, seminar, dialog, konseling, pembinaan keluarga bahagia, dll. Tapi mengapa, justru belakangan ini kemelut di dalam keluarga semakin menjadi-jadi?
Menurut seorang pakar komunikasi, bergejolaknya kemelut di dalam keluarga, di antaranya disebabkan pengaruh pergaulan, lingkungan, media, baik tontonan ataupun bacaan. Akibatnya terjadilah dehumanisasi, demoralisasi, dan desakralisasi, terhadap pendidikan si anak dalam keluarga. Bahkan yang lebih parah penyebab terjadinya hal tersebut adalah kurangnya pengetahuan agama si anak, lantaran minimnya pendidikan agama yang diperoleh dari orangtuanya.
Harus kita akui pula, faktor penyebab yang disebutkan di atas tidak seluruhnya salah, ada juga baiknya. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Perlu disadari, banyak di antara kita yang mengabaikan bahkan menghilangkan tradisi-tradisi yang bersifat keagamaan. Padahal itu sangat berpengaruh dan berdampak positif untuk membatasi ketakaburan manusia. Kebiasaan yang baik, belakangan ini nyaris punah. Akibatnya, manusia makin tidak bisa menahan dan mengendalikan nafsu.
Orangtua kita dulu, menyekolahkan anaknya tidak hanya cukup pada sekolah formal saja. Si anak diberi pelajaran yang bersifat siraman rohani, seperti Madrasah Diniyah, pesantren, atau sekolah agama lainnya, yang bertujuan agar pondasi pengetahuan agama yang dimilikinya kuat. Sehingga dapat bermanfaat untuk dirinya ataupun orang lain.
Sekarang, orangtua menyekolahkan anaknya cukup hanya satu jam dalam seminggu untuk mendapat pelajaran agama. Dari hasil tersebut, wajar saja jika sekarang banyak anak yang tidak tahu tata cara berdoa, sholat yang benar, mendoakan orangtua, dll. Di dalam benak mereka yang penting bisa hidup. Ketika sudah besar atau dewasa, mereka hanya berlomba-lomba mencari kekayaan, kekuasaan, pangkat dan jabatan, tanpa mempedulikan halal atau haramnya menurut syariat agama.
Hal lain yang hilang dari lingkungan keluarga saat ini adalah kebiasaan ayah, ibu, dan anak-anak melaksanakan sholat berjama’ah, makan bersama, mencium tangan orangtua saat akan berangkat sekolah atau juga seorang ayah maupun ibu mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama berdoa setelah melakukan sholat. Apalagi menyuruh anak-anaknya untuk melaksanakan sholat tahajjud, istikhoroh, hajat, dhuha, atau seorang ayah memimpin doa seraya diamini oleh istri serta anak-anaknya. Dengan alasan sibuk karena pekerjaan, yang menyebabkan orangtua tidak bisa lagi melakukan hal tersebut.
Rosulullah SAW pernah menasehati sahabatnya yang bernama Abu Dzar al-Ghifari, “Perbaharuilah perahumu, sebab lautan teramat dalam. Bawalah bekal yang banyak, sebab perjalanan teramat jauh. Ringankan bebanmu (dosa-dosamu -pen), sebab jalannya curam. Dan ikhlaskanlah amalmu, sebab pengamatnya (ALLAH) sangat waspada”.
Semoga kita senantiasa ada dalam lindungan, taufiq serta hidayah-NYA. Amien yaa Robbal ‘Aalamiin...
No comments:
Post a Comment