Tuesday, August 14, 2012

(Renungan) Ibuku Bermata Satu

Saat aku beranjak dewasa, aku mulai mengenal sedikit kehidupan yang menyenangkan, merasakan kebahagiaan memiliki wajah yang tampan, kebahagiaan memiliki banyak pengagum di sekolah, kebahagiaan karena kepintaranku yang dibanggakan banyak guru. Itulah aku, tapi satu yang harus aku tutupi, aku malu mempunyai seorang ibu yang BERMATA SATU! Yah, matanya hanya ada satu. Aku benar-benar merasa malu.
Aku sangat menginginkan kesempurnaan terletak padaku, tak ada satupun yang cacat dalam hidupku juga dalam keluargaku. Saat kecil, ayah yang menjadi tulang punggung kami sudah dipanggil terlebih dahulu oleh yang Maha Kuasa. Tinggallah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi tulang punggung pengganti ayah. Tapi semua itu tak kuhiraukan. Aku hanya mementingkan kebutuhan dan keperluanku saja. Sedang ibu bekerja membuat makanan untuk para buruh di sebuah rumah jahit sederhana.
Pada suatu hari ibu datang ke sekolah untuk menjenguk keadaanku. Karena sudah beberapa hari aku tak pulang ke rumah dan tidak tidur di rumah. Rumah kumuh itu membuatku muak, membuat kesempurnaan yang kumiliki menjadi cacat. Aku berjanji, apapun akan aku lakukan untuk menggapai sebuah kesempurnaan itu.
Tepat di saat istirahat, kulihat sosok wanita tua dengan mata bolong sebelah berdiri di pintu sekolah. Bajunya pun bersahaja rapih dan sopan. Itulah ibuku yang mempunyai mata satu. Dan yang selalu membuat aku malu dan yang lebih memalukan lagi Ibu memanggilku. "Mau ngapain ibu ke sini?! Ibu datang hanya untuk mempermalukan aku?!" Bentakkan dariku membuat ibuku segera bergegas pergi. Dan memang itulah yang kuharapkan. Ibu pun bergegas keluar dari sekolahku. Karena kehadirannya itu aku benar-benar malu, sangat malu. Sampai beberapa temanku berkata dan menanyakan. "Hai, itu ibumu ya?, Ibumu matanya kok cuma satu?" bagai disambar petir mendapat pertanyaan seperti itu. Aku pun segera menjawab, "Mana mungkin aku punya ibu semacam itu, itu hanya pengemis yang minta sedekah kok".
Beberapa bulan kemudian aku lulus sekolah dan mendapat beasiswa di sebuah sekolah di luar negeri. Aku mendapatkan beasiswa yang selama ini kuincar dan kukejar agar aku bisa segera meninggalkan rumah kumuhku dan terutama meninggalkan perempuan yang selama ini membuatku malu. Dan ternyata aku berhasil mendapatkannya. Dengan bangga kubusungkan dada dan aku berangkat pergi tanpa memberi tahu Ibu karena bagiku itu tidak perlu. "Aku hidup untuk diriku sendiri. Persetan dengan Ibuku. Dia hanya seorang perempuan yang selalu menghalangi kemajuanku".
Di sekolah itu, aku menjadi mahasiswa paling populer karena kepintaran dan ketampananku. Aku pun telah sukses dan kemudian aku menikah dengan seorang gadis Indonesia dan menetap di Singapura.
Singkat cerita aku menjadi seorang yang sukses, sangat sukses. Tempat tinggalku sangat mewah, aku mempunyai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun dan aku sangat menyayanginya. Bahkan aku rela mempertaruhkan nyawaku untuk putraku itu.
10 tahun aku menetap di Singapura, belajar dan membina rumah tangga dengan harmonis dan sekali pun aku tak pernah memikirkan nasib ibuku. Sedikit pun aku tak rindu padanya, aku tak mencemaskannya. Aku BAHAGIA dengan kehidupanku sekarang.
Tapi pada suatu hari kehidupanku yang sempurna tersebut terusik, saat putraku sedang asyik bermain di depan pintu. Tiba-tiba datang seorang wanita tua renta dan sedikit kumuh menghampirinya. Dan kulihat dia adalah Ibuku, Ibuku datang ke Singapura. Entah untuk apa dan dari mana dia memperoleh ongkosnya. Dia datang menemuiku.
Seketika saja perempuan itu aku usir. Dengan entengnya aku menghardiknya, "HEY, PERGILAH KAU PENGEMIS. KAU MEMBUAT ANAKKU TAKUT!". Dan tanpa membalas perkataan kasarku, Ibu lalu tersenyum sambil berkata, "MAAF, SAYA SALAH ALAMAT"
Tanpa merasa besalah, aku pun masuk ke dalam rumah.
Beberapa bulan kemudian datanglah sepucuk surat undangan reuni dari sekolah SMA ku. Aku pun datang untuk menghadirinya dan beralasan pada istriku bahwa aku akan dinas ke luar negeri.
Singkat cerita, tibalah aku di kota kelahiranku. Tak lain hanya ingin menghadiri pesta reuni dan sedikit menyombongkan diri akan kesuksesanku ini. Berhasil aku membuat seluruh teman-temanku kagum pada diriku yang sekarang ini.
Selesai Reuni entah mengapa aku ingin melihat keadaan rumahku dulu sebelum pulang ke Singapura. Tak tahu perasaan apa yang membuatku melangkah untuk melihat rumah kumuh dan perempuan tua itu. Sesampainya di depan rumah itu, tak ada perasaan sedih atau bersalah sedikitpun, bahkan aku sendiri sebenarnya jijik melihatnya. Dengan rasa tanpa berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kulihat rumah ini begitu berantakan. Aku tak menemukan sosok wanita tua di dalam rumah itu, entahlah dia sedang ke mana, tapi justru aku merasa lega tidak bertemu dengannya.
Bergegas aku keluar dan bertemu dengan salah satu tetangga rumahku. "Akhirnya kau datang juga. Ibumu telah meninggal dunia seminggu yang lalu"
"OH…"
Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Sedikit pun tak ada rasa sedih di hati yang kurasakan saat mendengar ibuku telah meninggal. "Ini, sebelum meninggal, Ibumu menitipkan surat ini untukmu".
Setelah menyerahkan surat ia segera bergegas pergi. Kubuka lembar surat yang sudah kucel itu. Dan kubaca,
Untuk anakku yang sangat Aku cintai,
Anakku yang kucintai, Ibu tahu kau sangat membenci ibu. Tapi Ibu senang sekali waktu mendengar kabar bahwa akan ada reuni di sekolahmu.
Ibu berharap, semoga ibu bisa melihatmu sekali lagi. karena ibu yakin kau akan datang ke acara reuni itu.
Anakku, ibu sangat merindukanmu, teramat dalam sehingga setiap malam ibu hanya bisa menangis sambil memandangi fotomu satu-satunya yang ibu punya. Ibu tak pernah lupa untuk mendoakan kebahagiaanmu, agar kau bisa sukses dan melihat dunia luas.
Hanya untuk kau ketahui saja anakku tersayang, bahwasannya mata yang kau pakai untuk melihat dunia luas itu, salah satunya adalah mata ibu yang selalu membuatmu malu.
Satu mata ibu yang ibu berikan padamu waktu kau kecil. Waktu itu kau dan Ayahmu mengalami kecelakaan yang hebat, yang merengut nyawa ayahmu, sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Ibu tak tega jika kelak anak tersayangku ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat maka ibu berikan satu mata ini untukmu.
Sekarang ibu bangga padamu karena kau bisa meraih apa yang kau inginkan dan cita-citakan. Dan ibupun sangat bahagia bisa melihat dunia luas melalui mata yang ibu berikan untukmu.
Saat ibu menulis surat ini, ibu masih berharap bisa melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Tapi rasanya itu tidak mungkin, karena ibu yakin maut sudah hendak menjemput untuk segera bergabung dengan ayahmu.
Peluk cium dari Ibumu yang senantiasa mencintai dan menyayangimu
Bak petir di siang bolong menghantam seluruh saraf-sarafku, Aku terdiam! Baru kusadari bahwa yang membuatku malu sebenarnya bukan ibuku, tetapi diriku sendiri...
Semoga saja anak-anak kita kelak tidak seperti tokoh yang ada dalam kisah ini.
Amien...

No comments:

Post a Comment