Oleh : M. Ichsan Amir Mujahid
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada ALLAH dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada ALLAH, Sesungguhnya ALLAH Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan"
Sudah puluhan tahun Idul Fithri kita lewati, sebanyak bilangan Ramadhan itu pula yang kita alami. Sering Idul Fithri kita jadikan tonggak-tonggak penting dalam kehidupan kita. Setiap tahun Idul Fithri datang menjenguk kita membawa kisah suka dan duka. Kenanglah Idul Fithri pada tahun-tahun yang lalu. Bukankah pernah Idul Fithri datang ketika kita dirundung malang? Diliputi penderitaan dan diuji dengan berbagai kepedihan? Bukankah pernah juga Idul Fithri datang ketika kita memperoleh keberuntungan? Dipenuhi kebahagiaan dan dimanja dengan berbagai kenikmatan? Suka dan duka datang silih berganti.Tapi ada suatu hal yang tidak pernah berubah. Setiap kali Idul Fithri datang, ada saja di antara sanak-saudara, karib-kerabat, orang tua, atau sahabat kita yang tidak ber-Idul Fithri bersama kita. Mereka tidak ikut mempersiapkan Idul Fithri. Mereka tidak menggemakan takbir. Mereka tidak ikut pergi ke tanah lapang. Tidak dapat kita lihat wajah mereka yang ceria. Tidak bisa kita ulurkan tangan mohon maaf kepada mereka. Tidak sanggup kita bahagiakan mereka dengan bingkisan penganan atau pakaian. Mereka telah mendahului kita ke alam baka. Mereka telah lebih dahulu “mudik” ke kampung yang abadi guna menghadap Ilahi Rabbi.
Pada hari yang penuh berkah ini, bagi kita yang masih sempat menghirup udara segar Idul Fithri. Marilah kita renungkan apa yang kita lakukan pada waktu Idul Fithri. Kita penuhi langit dengan gemuruh takbir. Kita sampaikan rasa syukur kepada ALLAH SWT yang telah menghadirkan kita di dunia, kemudian mengantarkan kita memasuki bulan Ramadhan serta merayakan Idul Fithri. Kita sadar betul bahwa banyak di antara saudara, sahabat dan keluarga kita yang tidak dapat berkumpul bersama kita; Sebagian karena mereka berada diperantauan, sebagian karena sakit, sebagian lagi karena mereka telah mendahului kita ke alam baka.
Kita ungkapkan rasa syukur kita dengan membesarkan ALLAH SWT dan merendahkan diri di hadapan-NYA. Dalam shalat kita ratakan dahi kita di atas sajadah, seraya mengucapkan sembah "Subhana Rabbiyal ‘Ala" (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi). Kita akui kerendahan, kelemahan, dan kekecilan diri kita. Kita sadari ketinggian, kekuasaan, dan kebesaran Rabbul ‘Alamin. DIA-lah yang sewaktu-waktu dapat mengambil nyawa dari ubun-ubun kita, memisahkan kita dari keluarga, harta, jabatan atau apa pun yang kita cintai. DIA pula yang setiap saat melimpahkan kasih sayang-NYA kepada kita, melindungi, merawat dan menjaga kita. Karena kesibukan, karena kecintaan kepada dunia atau karena kelelahan mempertahankan hidup, betapa sering kita membesarkan diri kita, keluarga kita, harta kita, jabatan kita, pekerjaan kita, sehingga kita lupakan kebesaran dan kekuasaan ALLAH.
Karena kita melupakan ALLAH, kita pun lupa terhadap kemanusiaan diri kita sendiri. Kita menjadi manusia jadi-jadian, kita bagaikan haiwan yang mendiami tubuh manusia, tetapi tidak memiliki rasa kemanusiaan; yang berwatak seperti harimau yang siap memangsa manusia lain. Bila kita pedagang kita bangga kalau bisa menyahuk keuntungan dengan cara menipu, memperdaya, atau menjatuhkan orang lain. Bila kita atasan, kita merasa bahagia, bila bisa merampas hak bawahan, memungut hasil keringat mereka, atau menakut-nakuti mereka, dengan pangkat, jabatan atau kekuasaan yang kita miliki, supaya mereka berkorban demi kesenangan kita. Bila kita hanya rakyat kecil, bergaji kecil, berumah kecil, maka kita tidak segan-segan maling secara kecil-kecilan, dengan mengorbankan Iman kita, demi sesuap nasi yang akan kita persembahkan untuk AMPI (Anak, Mertua, Ponakan dan Istri). Inilah yang disebut “Hipocrys Religious”, kemunafikan bergama, kita ber-Iman tetapi munafik, kita menginginkan surga tetapi masih doyan dengan prilaku ahli neraka. Padahal ALLAH SWT telah mengatakan:
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada ALLAH, lalu ALLAH menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasiq." (QS. Al-Hasyr : 19).
Kerena kita melupakan ALLAH, kita pun lupa terhadap kemanusiaan yang ada pada diri kita. ALLAH sudah melihat hati kita yang sudah gelap karena maksiat, tangan-tangan yang berlumuran dosa dan tubuh-tubuh kotor yang bernoda.
Karena itu, sekalipun pada hari ini wajah kita kelihatan ceria dan gembira. Tapi perlu kita berhati-hati dan waspada, terhadap kemungkinan di akhirat, apa yang bakal menimpa. Apakah benar kita memperoleh wajah yang ceria (wujuhun naaimah), atau sebaliknya (wujuhun khaasyi'ah) wajah yang ketakutan. Dikarenakan kita sangat lalai dalam beribadah kepada Tuhan. Bukankah di kesunyian malam, ketika Tuhan yang Rahman dan Rahim menanti kita untuk menemui-NYA, kita tertidur lelap seperti bangkai? Bukankah ketika kita bershaum, lidah kita tetap saja menggunjing dan memfitnah saudara kita sesama muslim? Mata kita selalu saja menikmati pemandangan yang dimurkai ALLAH. Tangan kita terus saja digunakan untuk menzhalimi manusia yang tidak berdaya dan melakukan kemaksiatan. Di samping itu tak henti-hentinya, ketika berbuka shaum, kita masukkan ke dalam perut kita harta yang haram, harta yang diperoleh dengan merampas hasil keringat fakir dan miskin.
Nabi SAW bersabda:
"Tidak beriman kamu, kalau kamu tidur kenyang sementara tetanggamu kelaparan di sampingmu".
Betapa sering kita makan kenyang tanpa sekejap pun teringat tetangga kita, bahkan saudara kita, yang pulang ke rumahnya dengan tubuh yang lesu, rambut yang tertutup debu, dan perut-perut yang keroncongan. Betapa sering kita tergoda dengan barang-barang mewah, tetapi tidak terharu melihat penderitaan manusia. Hati kita sudah keras, mata kita sudah kering. Kita tidak menangis ketika tetangga kita sakit keras, dan tidak sanggup berobat karena kemiskinannya, atau ketika anak-anak yatim terlunta-lunta tanpa perlindungan, atau ketika otak-otak cerdas disia-siakan, karena tidak sanggup membiayai pendidikan, atau ketika orang-orang mendapat musibah merintih sendirian.
Yang lebih mengerikan lagi, kita bergembira di atas penderitaan orang lain. Kita tertawa bangga ketika berhasil menipu orang lemah, merampas hak orang kecil, dan menindas manusia yang tidak berdaya. Bagaimana mungkin kita memperoleh wajah-wajah yang ceria gembira, kalau tangan-tangan kita berlumuran dosa?
Syukurlah ALLAH sangat taktis untuk selalu menyediakan peluang penyelamatan bagi kita hamba-hamba-NYA yang sudah terlanjur besar, tetapi lupa akan kebesaran ALLAH. Dianugerahkannya shaum Ramadhan sebagai proses peragian. Kalau sebelum shaum kita dikenal manusia ulat yang selalu menyikat, maka setelah shaum kita berharap bisa menjadi kupu-kupu yang indah dan menebar berkah, bukan sebaliknya menjadi ulat bulu yang mewabah dan menusia lintah yang mengisap darah.
Karenanya, pada hari yang suci ini, mari kita ber-Idul Fithri, kita kembali kepada Fithrah ke-manusiaan sejati, bahwa kita adalah MANUSIA yang melebihi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Lurah atau APA pun kita. Sedangkan gelar, pangkat, status sosial, fungsi birokrasi dan seterusnya hanyalah APA. Dan itu semua bukan diri kita, itu profesi, pakaian hidup dan fungsi sementara. Seluruh posisi dan kedudukan itu besok pagi bisa sirna dari kita jika ALLAH menghendaki, meskipun sudah setengah mati kita memberi upeti, kepada orang-orang yang bisa memberi kita status-status, lewat obralan janji-janji.
Jadi kenapa kita lupa diri dan bangga dengan apa yang namanya PROFESI yang kadang kala kita pergunakan untuk injak kanan sikat kiri demi mendapatkan ITU dan INI. Padahal puncak pelajaran dan ujian hidup adalah bagaimana kita bisa lulus menjadi MANUSIA. Bukankah pengusaha yang sukses, birokrat yang berhasil, petani atau nelayan yang berjaya, dan prajurit yang hebat, adalah mereka yang dalam kariernya sanggup menjadi manusia. Sebab hanya manusia yang fithri, manusia sejati, yang tangis dan tawanya tidak karena untung dan rugi. Inilah mereka yang memiliki hati nurani, untuk tidak rakus dan serakah, untuk tidak menindas dan mengisap, untuk tidak mencuri dan mencurangi manusia di bumi.
Dan insya ALLAH sebentar lagi kita akan sibuk bersalam-salaman, bersilaturrahmi, dan saling memaafkan, saling berkunjung dan sama-sama ber-syawalan dengan keluarga, famili serta tetangga kita masing-masing, sambil mengucapkan: "TAQOBBALALLAAH MINNAA WA MINKUM, SHIYAAMANAA WA SHIYAAMAKUM, KULLU 'AAM WA ANTUM BIKHOIR, JA'ALANALLAAHU WA IYYAAKUM MINAL 'AAIDIIN WAL FAAIZIIN". Sebagai manusia kita beranggapan bahwa kita sudah sama-sama ber-Idul Fithri, membayi dan suci. Namun renungkanlah, sudahkah kita mem-fithri-kan hidup kita di hadapan ALLAH SWT yang penglihatannya melebihi laser menembus tajam, ke lubuk hati kita yang paling dalam?
Oleh karena itu, mari kita simak firman Tuhan:
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang." (QS. al-A'laa : 14-15)
Dan camkanlah, Bahwa hidup kita hanyalah sekali, setelah itu kita pun pasti mati, dan kita tidak tahu, berapa jatah umur yang ALLAH beri, sebab itu, mari kita terus berupaya berbenah diri dengan amal-amal yang terpuji, agar seluruh perjalanan hidup kita diridhai di sisi Ilahi.
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-NYA. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-KU. Masuklah ke dalam surga-KU". (QS. al-Fajr: 27 – 30).
Marilah kita bermunajah, agar kita dituntun kepada Fithrah kemanusiaan yang diridhai oleh ALLAH.
ALLAAHUMMA ya ALLAH ya Tuhan kami, runtutan nikmat-MU telah melengahkan kami mengaturkan puji syukur kepada-MU. Rangkaian pertolongan-MU telah melalaikan kami untuk tunduk dan mengabdi terhadap-MU. Inilah kami hamba-hamba-MU yang tidak malu-malu menengadahkan tangan kehadapan-MU, dengan penuh harap dan pinta dari-MU. Ya Ghaffar dengan cahaya-MU kami mendapat petunjuk, dengan karunia-MU kami memperoleh kecukupan, dan dengan rahmat-MU kami mampu menghidupkan Qiyamurramadhan, dan menikmati Idul Fithri sebagai wujud kemenangan perjuangan.
Ya ALLAH yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, sungguh kami katakan, bahwa kami yang hadir ini, tiada kekuatan untuk mempertahankan keagungan Ramadhan yang telah ENGKAU limpahkan, apatah lagi mempraktekkan nilai-nilai ketaqwaan dalam seluruh aspek kehidupan, melainkan dengan Qudrat dan Iradat-MU yang telah ENGKAU anugerahkan.
Ya ROHMAAN, secara jujur kami nyatakan, bahwa sudah terlalu banyak dosa-dosa yang kami lakukan, dan baru amat sedikit amal ibadah, yang kami persiapkan. Dan mungkin kami belum pantas untuk menjadi pengisi surga-MU, tetapi kami pun sangat tidak sanggup menahan siksa-MU di Hari Kiamat nanti, kasih sayang dari-MUlah ya ALLAH yang kami harapkan, untuk membimbing dan menunjuki kami ke jalan yang benar dan ENGKAU Ridhai.
Ya ALLAH, maafkanlah kami sehingga tidak lagi durhaka kepada-MU. Ilhamilah kami kebaikan dan mengamal ajaran-MU Tuhan. Berilah kami mata yang mudah menangis karena takut kepada-MU. Berilah kami hati yang mudah hancur karena melihat penderitaan hamba-hamba-MU, Berilah kami tangan yang mudah memberi bantuan kepada makhluk-makhluk-MU. Berilah kami darah yang tercurah dalam perjuangan memakmurkan negeri dan menghidupsuburkan agama-MU.
Ya ROBBANAA, Perkenankanlah pinta kami! Jadikanlah Idul Fithri 1433H ini, sebagai sarana perbaikan diri, terhadap citra kepribadian Muslim yang dapat dicontoh dan ditauladani, guna mewujudkan Keluarga Besar Muslim yang ber-Tamaddun dan Islami serta berada dalam naungan dan Ridha-MU Yaa ILAHI.
Amien.. Yaa Robbal 'Aalamien...
Billaahi Fii Sabiilil Haq, Fastabiqul Khairaat...
Wassalaamu'alaikum wr. wb.
Disampaikan pada
Khutbah Sholat 'Idul Fithri 1 Syawal 1433H/19 Agustus 2012M
No comments:
Post a Comment